بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Dulu, saya mengenal Mu'awiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) hanya sebagai seorang yang dhalim (dalam tanda kutip), karena berperang dengan khalifah Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه) kala itu. Namun, ada wawasan baru yang didapat setelah membaca sebuah buku terjemahan yang ditulis oleh DR.Ali Muhammad Ash-Shallabi yang berjudul "Mu'awiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) - Prestasi Gemilang Selama 20 Tahun Sebagai Gubernur dan 20 Tahun Sebagai Khalifah", terutama mengenai fitnah-fitnah yang terjadi di zaman tersebut.
Awal mula perselisihan adalah adanya perbedaan ijtihad pada masalah penegakan hukuman qishash bagi para pembunuh Utsman bin Affan (رضي الله عنه). Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) sama sekali tidak mengingkari keutamaan dan kelayakan Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه) untuk menjadi khalifah. Akan tetapi, ijtihad Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) adalah mendahulukan penegakan hukuman qishash terhadap para pembunuh Utsman bin Affan (رضي الله عنه) dibanding perkara bai'at. Adapun khalifah Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه) berpendapat bahwa penerapan hukuman qishash tersebut perlu ditunda dulu sampai beliau berhasil mengendalikan keadaan, memulihkan keamanan dan menyatukan kaum muslimin. Rentetan peristiwa berikutnya berlanjut hingga terjadinya perang Shiffin. Suatu perang yang sungguh amat sangat disayangkan kejadiannya.
Namun, peperangan antara Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه) dengan kubu Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) tidak berlangsung lama. Salah satu yang menjadi pemicunya adalah peristiwa gugurnya Ammar bin Yasir (رضي الله عنه). Dalam salah satu hadits shahih Bukhari, Rasulullah (صلى الله عليه و سلم) bersabda kepada Ammar, "Kamu akan dibunuh oleh kelompok yang zhalim (pembangkang)". Sementara, Ammar bin Yasir (رضي الله عنه) kala itu berada di barisan Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه). Dan yang membunuhnya adalah pasukan Mu'awiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه). Atas peristiwa ini, beberapa ulama berpendapat bahwa ini menunjukkan bahwa Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه) adalah pihak yang benar di perang itu, karena orang-orang Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) lah yang membunuh Ammar bin Yasir (رضي الله عنه). Namun lebih lanjut, kaum muslimin perlu menyikapi bahwa mereka adalah orang-orang yang ber-takwil, dan ahli ijtihad yang salah dalam ijtihad-nya mendapatkan satu pahala. Bila hal ini berlaku untuk orang per orang dari manusia biasa, maka ia lebih patut untuk berlaku pada para sahabat.
Peristiwa lain yang terjadi yaitu peristiwa tahkim, yang mana masing-masing kubu menunjuk hakam untuk mewakilinya. Kemudian, kedua hakam tersebut berunding membicarakan perkara yang mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه) mewakilkan kepada Abdullah bin Qais (Abu Musa al-Asy'ari (رضي الله عنه)). Adapun Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) menunjuk Amr bin al-Ash (رضي الله عنه). Namun, peristiwa tersebut juga belum menghasilkan solusi terbaik bagi kedua kubu.
Kemudian, ketika khalifah Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه) terbunuh, Hasan bin Ali (رضي الله عنه) di bai'at sebagai khalifah berikutnya. Pada masa itu, beliau memilih untuk mengedepankan kesatuan umat. Sehingga, beliau berdamai dengan Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) dan menyerahkan jabatan kekhalifahan. Memang selain karena kemiripan fisik dan perilakunya dengan Rasulullah (صلى الله عليه و سلم), beliau juga lebih suka perdamaian. Bahkan sebelum terjadinya perang Shiffin, beliau sempat meminta kepada ayahnya, Ali bin Abu Thalib (رضي الله عنه), untuk tidak berperang; namun usulannya ditolak.
Dengan mundurnya Hasan bin Ali (رضي الله عنه), maka Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) di bai'at untuk menjadi khalifah berikutnya. Selama duapuluh tahun berikutnya, Mua'wiyah bin Abu Sufyan (رضي الله عنه) menduduki jabatan kekhalifahan hingga wafatnya.
Allahu a'lam
--- o ---
No comments:
Post a Comment