Bismillah,
Nabi
sallallaahu ‘alaihi wassalam
bersabda, "Yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik kecil."
Ketika beliau ditanya tentang apa itu syirik kecil, beliau bersabda, "Riya."
(HR. Ahmad)
Dari
segi bahasa, kata riya’ masih satu
akar dengan kata ru’yah yang berarti
penglihatan. Riya’ artinya melakukan
suatu amalan karena ingin dilihat oleh manusia. Ia merupakan antonim dari kata
ikhlas. Namun, walaupun bertolak belakang, keduanya hanya dipisahkan oleh sekat
yang tipis. Hanya sang pelaku dan Allah subhanahu
wata ‘ala yang mengetahui batas itu. Seperti yang tercantum dalam hadits di atas, riya’ merupakan syirik kecil. Berarti, ketika seseorang melakukan riya’, dia berada dalam kondisi
mempersekutukan Tuhan, meskipun masih dalam taraf rendah / kecil.
Setiap
ingin melakukan suatu amalan, kata ikhlas dan riya’ terus meraung-raung silih berganti. Hingga akhirnya sampai
pada satu titik, ada keengganan untuk melakukan amalan ketika berada di
kerumunan; ketika orang lain bisa melihatnya. Alasannya, takut riya’. Tadinya, itu pendapat pribadi
yang secara konsisten bercokol di benak ini. Akibatnya, potensi amalan menjadi terbatasi. Namun ternyata, malam ini ketemu petunjuk tak terduga.
Dalam
salah satu tulisan di sebuah blog yang menjelaskan tentang riya’, ada suatu penggalan yang membuat
pribadi ini kembali berpikir.
Fudhail
bin Iyadh berkata, "Meninggalkan amal karena orang lain adalah riya’, beramal karena orang lain adalah
syirik, dan ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkanmu dari keduanya." (Syu'abul Iman, Al-Baihaqi)
Kalimat
pertama yang paling menggelitik. “Meninggalkan amal karena orang lain adalah riya”. Yang jika disederhanakan berarti
: takut riya’ adalah riya’.
Kalimat itu ibarat oli pelumas yang melancarkan kembali gerakan engsel yang sudah karatan. Salah satu berkah Ramadhan
tahun ini. Alhamdulillah. Dan menjadi
bahan refleksi diri selama ini atas pemikiran yang salah. Astaghfirullah. Sampai-sampai tidak bisa tidur (mungkin sampai waktu
Subuh). Dan akhirnya, sekalian nge-blog bikin tulisan ini.
Sampailah
pada kesimpulan bahwa segala sesuatu memang tergantung pada niatnya. Sebab, niat
adalah pondasi dari setiap amalan yang akan di kerjakan. Dan pondasi itu perlu
di balut dengan rasa ikhlas. Sepertinya sulit, tapi yang penting ada usaha
untuk mencapainya.
PR
terkini adalah saat membuat tulisan ini. Semoga dijauhkan dari sifat riya’ dan menjadi satu amalan baik. Aamiin.
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar
bin Al-Khattab , dia berkata: “Saya
mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung
niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa
yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang
ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
--- o ---
No comments:
Post a Comment